Cari Blog Ini

Jumat, 14 Januari 2011

Selamat Berjuang Liga Primer Indonesia

Duniasoccer

Andibachtiar Yusuf
Andibachtiar Yusuf
“Kenapa timnas kita memakai logo Garuda sementara banyak tim nasional dari negara lain bahkan Brasil memajang logo asosiasi sepak bola nya?” adalah pertanyaan sangat umum yang sering diungkapkan banyak orang, baik pada media, temannya atau bahkan pada saya.
Jawabannya sangat sederhana “Karena Bung Karno sang Pemimpin Revolusilah yang memintanya!” tepatnya saat tim Indonesia yang saat itu belum memakai seragam Merah Putih siang berangkat ke Cekoslovakia untuk sebuah partai persahabatan di tahun 1954. Lambang negara yang kemudian terus dipakai diberbagai ajang, termasuk Olimpiade 1956 dan terus dilakukan hingga saat ini.
FIFA sama sekali tidak memberi kewajiban bagi tim nasional negara manapun untuk meletakkan logo apapun di dada kiri mereka, karena yang FIFA pahami Asosiasi Sepak bola sebuah negara berdiri sejajar dengan negara dan memiliki kekuatan yang sama. Inilah mengapa pemerintahan SBY yang sungguh berkeinginan mengintervensi PSSI sekaligus menghentikan rezim Nurdin Halid hanya bisa mencoba jalur-jalur konstitusional lewat KSN, Kongres PSSI atau cara lain yang memungkinkan. Ini pula mengapa layout duduk box kehormatan itu selalu Kepala Negara, ketua umum asosiasi sepak bola, dan Presiden FIFA.
Lalu mengapa umumnya negara-negara di dunia memajang logo asosiasi mereka ketimbang lambing negara? Tentu bukan karena mereka tidak memiliki lambang negara, tapi karena tim nasional adalah milik dan bentukan Federasi yang kemudian dikirim untuk bertanding melawan negara lain sesame anggota FIFA.
“Melarang Irfan Bachdim bermain di tim nasional adalah pelanggaran HAM kelas berat!” tulis sebuah media yang terus diulang di twitter atau ranah social media lainnya. Memberi skors seseorang seumur hidup adalah benar adanya melanggar hak seseorang untuk bekerja, namun tidak menggunakan seseorang yang tak beraktivitas di lingkungan internal adalah hal yang wajar. PSSI bisa saja menggunakan jasa Irfan, tapi apa iya mereka mau saat rasa tersaingi serta ketakutan akan runtuhnya kekuasaan memuncak sampai kepala?
Sampai di sini saya tentu akan terasa seperti berpihak pada Asosiasi Sepakbola yang ketua dan segala kaumnya kita benci itu. Tentu tidak, saya hanya merasa bahwa satu-satunya cara untuk meruntuhkan rezim Nurdin adalah dengan cara yang konstitusional, karena kekuatan militer tak akan mau berdiri di belakang kita, mahasiswa—yang pinter-pinter sampai jika mereka demo dan berdiri di atas bus tidak diprotes sementara para supporter segera dimaki—tak akan mau datang menduduki kantor kecil di Senayan itu.
Berteriak di media dan social media jelas tak akan cukup, maka lahirlah Liga Primer Indonesia yang konon mengadopsi mekanisme Major League Soccer (MLS) di Amerika Serikat. Sebuah liga tanpa degradasi yang sama persis dengan yang terjadi di Liga di Amerika Serikat. Bedanya, jika semua liga di negeri itu “membeli” franchise pada MLS, tim-tim LPI dimasa-masa awal akan diberi subsidi dana oleh konsorsium (ada yang bisa jelaskan siapa pendana konsorsium? Thx)
Saya sadar, bahwa terjadi banyak kasus pengaturan skor, keberpihakan wasit serta segala prasangka yang pada akhirnya sulit juga dibuktikan oleh awam. Tapi, saya selalu mempercayai bahwa muara dari kompetisi adalah tim nasional dan awal dari kompetisi adalah pembinaan. Lalu kemana pembinaan berada? Karena itulah yang lebih dibutuhkan oleh kita ketimbang dua buah kompetisi yang saling berebut jam tayang dan cenderung berbagi Stadion yang sama.
“Nyaris di tiap kelurahan terdapat 2 sampai 3 sekolah Sepakbola,” tulis Alex Bellos di bukunya Futebol, The Brazilian Way Of Life. Seperti di Eropa, sekolah-sekolah Sepak bola ini menampung anak-anak berusia 7-13 tahun. Kemana mereka pergi setelah melewati usia tersebut?
Kompetisi junior resmi telah menanti, dan persis dengan yang terjadi di Eropa dan negeri-negeri dengan industry Sepakbola yang menggurita….remaja-remaja ini akan dipantau oleh para pemandu bakat atau bahkan diciduk sebelum ia memasuki masa remaja.
Saya tak percaya kita butuh kompetisi tandingan, yang saya percaya kita butuh membenarkan sistem yang telah ada. Kompetisi tandingan hanya akan biaya tinggi yang sebenarnya akan lebih bijak untuk digunakan sebagai biaya pembinaan ketimbang saling adu kekuatan.
Saya sadar jika saat ini banyak dari kita mendukung keberadaan LPI sekaligus menganggapnya sebagai symbol perlawanan dunia Sepak bola kita.
Tapi terpikirkah bahwa keadaan ini bisa mengundang reaksi FIFA yang bisa berujung pada sanksi administratif terhadap Sepak bola kita? Saya tak yakin ada pasal di organisasi tertinggi itu tentang hal ini, tapi segala kemungkinan bisa saja terjadi….apalagi FIFA pun sebenarnya sama saja dengan PSSI, sama-sama lembaga penuh perseteruan.
“Hanyaadasatukata, lawan!!” demikian sebaris kata yang dilontarkan oleh Widji Thukul lewat puisi Peringatan yang ia ciptakan di medio 1980an.
Ia kemudian turun ke jalan, dengan modal semangat dan api diri yang membara. Ia dirikan Partai Rakyat Demokrat bersama Budiman Sudjatmiko dkk di tahun 1994 untuk semakin menegaskan keinginannya agar perubahan itu segera terjadi di suatu hari nanti di negeri Indonesia yang ia cinta. Perjuangannya sangat nyata dengan satu tekad meruntuhkan Orde Baru yang saat itu sungguh berkuasa.
Tak lama setelah kerusuhan Mei 1998 dan runtuhnya rezim Suharto, Widji mendadak menghilang. Beberapa orang terdekatnya melihat dirinya sedang duduk di emperan jalanan kota Solo untuk terakhir kalinya. Lelaki beristrikan Ponini hanyalah putra seorang tukang becak di kota tersebut…modalnya berjuang hanyalah kata-kata dan semangatnya yang membara. Walau kemudian bersama Budiman Sudjatmiko dkk ia mendirikan PRD, pun demikian tetap saja mereka tak punya kuasa uang atau politis untuk bisa mendirikan negara Indonesia Tandingan.
Kini sebuah perlawanan tengah dicetuskan, dengan modal besar (konon 20 Milliar per klub dan berbagai biaya lainnya) LPI lahir dan siap mengubah peta Sepak bola Indonesia dengan kompetisi yang mereka sebut sebagai professional dan mandiri. Sebagai penganut Sepak bola tentu saya menyambutnya dengan senang hati, alternative tontonan saya bertambah dan jika tv yang menyiarkan ISL sedang tidak seru, saya bisa segera pindah saluran ke sebelah.
Sebuah liga baru dengan modal besar yang kemudian secara berjamaah dianggap sebagai symbol perlawanan oleh banyak masyarakat yang memang semakin membenci PSSI serta isinya “Bahkan batuk di tengah jalan pun, mungkin Nurdin bisa diomelin orang,” seloroh seorang kawan.
LPI bukanlah Widji Thukul yang berjuang dengan modal dengkulnya, yang ia miliki hanya kata-kata dan semangat besar pada perubahan. Saya tidak berupaya menyamakan atau menyejajarkan keduanya, tapi saya hanya berpikir…..seandainya Widji punya uang bertriliun rupiah, saya rasa perjuangannya akan lebih dikenal oleh bangsa ini dan saat ia menghilang selama 12 tahun, pemerintah akan sibuk membantu masyarakat mencari dan menemukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar